Mencium tangan dan memeluk Ibu sebelum berangkat sekolah, menjadi "tradisi" setiap pagi bagi buah hati kami. |
Oleh: Abdul Kholis
Pelukan seorang ibu kepada anak,
tak hanya sebagai ungkapan kasih sayang, tetapi juga menjadi sumber energi luar
biasa bagi anak yang tak bisa didapatkan dari manapun. Aktivitas di keluarga
ini ternyata mampu membentuk karakter positif pada anak.
***
Ini
pengalaman yang sempat membuat hati saya dan istri pilu. Setahun lalu, anak pertama
kami gagal masuk ke sekolah menengah atas (SMA) pilihannya di Kota Depok.
Sekolah itu memang sekolah favorit di kota kami. Tak heran jika banyak anak
(termasuk orang tua) sangat berharap diterima di sekolah tersebut.
Kegagalan
anak kami bukan karena Nilai Ujian Nasional (NUN) yang rendah, tetapi kebijakan
Dinas Pendidikan Jawa Barat yang mengatur jarak dari calon siswa ke sekolah
yang menjadi penyebabnya. Semakin jauh lokasi rumah calon siswa, semakin kecil
poin tambahan yang didapat.
Posisi
nama anak kami tergeser dalam deret Penerimaan Peserta Didik Baru
(PPDB) Jabar 2017 oleh nama siswa lain yang justru NUN-nya lebih kecil,
hanya karena jarak rumah anak tersebut lebih dekat ke sekolah, dibandingkan
jarak rumah kami dengan sekolah.
Ya,
sudahlah. Mau tak mau, suka tak suka, anak kami harus rela mendapat bangku di
sekolah pilihan kedua. Jarak antara rumah dan sekolah memang tak terlalu jauh.
Bagi kami, orang tua, tentu tak masalah anak sekolah di SMA manapun. Apalagi
dengan jarak yang tak terlalu jauh ke sekolah, kami merasa lebih nyaman dalam
memberikan pengawasan terhadap anak.
Tapi
rupanya tidak bagi anak kami. Dia seolah tak mau menerima kenyataan. Kesedihan
tampak jelas di raut wajahnya. Jika sebelumnya ia anak yang ceria dan suka
bercanda, saat itu tak ada lagi keceriaan, apalagi candaan yang biasa kami
saksikan. Pola makannya pun berubah. Bahkan kadang enggan untuk menyantap menu
kesukaanya yang sudah tersedia di atas meja makan.
Dia
mulai suka menyendiri di kamar tidur dan sedikit bicara dengan kami. Murung. Seolah
tak ada harapan lagi untuk meraih cita-cita. Bahkan, mungkin, baginya langit
seakan telah runtuh.
Kejadian
macam ini baru pertama kali kami alami. Sebagai ayah, peristiwa ini membuat saya
was-was. Kadang datang perasaan di luar nalar yang menghantui saya. Saya takut
kalau anak saya melakukan tindakan di luar dugaan.
Namun
tidak demikian dengan istri saya. Ia begitu tenang menghadapi masalah ini.
Dengan berbagai caranya, istri saya membujuk dan membujuk agar anak kami mau
menerima kenyataan. Walau tidak mudah, namun secara perlahan berhasil juga.
Setelah sepekan, anak kami sudah mulai diajak bicara. Hanya pola makannya saja
yang belum pulih.
Itulah
hebatnya seorang ibu. Seberat apapun persoalan yang dihadapi sang anak, dengan
kelembutan dan kasih sayangnya, mampu meluluhkan hati anaknya yang tengah
dirundung perasaan galau dan kecewa yang hebat sekalipun.
***
Semula saya
berpikir, pulihnya suasana hati anak kami sudah menandakan berakhirnya
kekecewaan dan kegalauannya. Rupanya belum. Kami masih menghadapi persoalan
baru yang lebih pelik, saat anak kami akan mendaftar ulang ke sekolah pilihan
kedua.
Tampaknya,
ini menjadi episode kedua kekahawatiran kami. Anak kami masih belum siap
seratus persen memasuki sekolah pilihan kedua. Saat kami antar daftar ulang ke
SMA pilihan kedua, dia “mogok” di depan pintu gerbang. Tak mau melanjutkan
langkahnya ke halaman sekolah.
Cukup lama
kami membujuk untuk masuk. Hingga akhirnya, saya agak kesal karena lelah
membujuknya. Bersyukur, Allah tetap melapangkan dan menambah kesabaran hati saya.
Saya dan istri berusaha keras mencari cara agar anak kami mau masuk ke halaman SMA
pilihan kedua itu.
Hingga
akhirya ketemu ide. Kami tak langsung menuju ruang kelas yang dijadikan tempat
daftar ulang. Tapi, kami ajak anak ngobrol santai sambil keliling mengitari
seluruh area sekolah. Terutama melihat-lihat fasilitas yang ada di sekitar
sekolah. Lumayan bagus.
Rupanya
cara ini sedikit mengurangi resistensi anak saya terhadap kondisi sekolah
tersebut. Hingga akhirnya, anak kami bersedia memasuki ruang kelas dan
melakukan daftar ulang, meski di jam-jam terakhir.
***
Secara
perlahan, saya dan istri tak bosan-bosannya menyemangati buah hati kami ini. Kami
tak mau dia sampai mogok sekolah. “Perjalanan untuk masa depanmu masih panjang,
Nak. Ayah dan Ibu yakin kamu akan jadi anak hebat di sekolah ini, apalagi
nilaimu masuk peringkat 10 besar di daftar masuk sekolah ini”. Kalimat ini yang
selalu kami ungkapkan untuk menyemangati buah hati kami.
Lantunan
doa, tak lelah kami panjatkan pada Yang Maha Kuasa, setiap saat, agar buah hati
kami bisa lapang dada dan selalu semangat dalam belajar. Kami yakin, setiap
anak memiliki jalan hidupnya masing-masing dalam meraih masa depan. Liku dan
tantangan sudah pasti akan menjadi “bumbu” dalam perjalanan mengapai cita-cita.
Hari
pertama masuk sekolah adalah hari terberat buat anak kami, termasuk bagi saya
dan istri. Meski tak ada kata-kata yang diucapkan, namun kami merasakan betul
keengganan anak kami untuk berangkat ke sekolah. Di awal-awal sekolah, setiap
pagi kami merasakan suasana macam ini.
Hingga hampir
tiga bulan anak kami aktif menjalani hari-hari bersekolah dengan langkah yang
agak berat. Meski seolah tak ada masalah, namun naluri kami sebagai orang tua
masih bisa membaca bahwa anak kami belum seratus persen menyukai lingkungan
sekolah pilihan kedua itu. Tampak dari keceriaannya tak seperti dulu sewaktu
masih di SMP pilihannya. Tapi, tak apa. Mungkin ini proses dan masih butuh
waktu untuk mengubah kondisi psikologisnya.
Selama
tiga bulan itu, saya gunakan resep yang cukup mujarab agar anak mau berangkat
sekolah. Setiap pagi, saya selalu mengingatkan ke istri untuk memeluk anak
pertama kami sebelum melangkahkan kaki menuju sekolah.
Atau,
selalu saya katakan,”Peluklah ibumu, sebelum
Kau berangkat sekolah, Nak.” Kalimat ini tak pernah berhenti saya ucapkan,
setiap kali hendak mengantar anak ke sekolah dengan motor. Seandainya lupa, dan
sudah ada di atas jok motor, saya kembali turun dan menyuruhnya untuk memeluk
ibu sebelum berangkat. Begitu terus dan terus setiap hari.
Anak kami (Paling Kiri) mulai menyukai kegiatan tadarus Al-Qur'an di Sekolah SMAN 6 Kota Depok, Jawa Barat. |
Alhamdulillah, tampaknya pelukan ibu menjadi
terapi yang luar biasa untuk anak kami. Secara perlahan, anak kami mulai
menyukai lingkungan sekolahnya yang baru. Senyum dan keceriaaanya pun berangsur
terlihat menjelang bulan kelima dia bersekolah. Bahkan, anak kami sudah mulai memiliki
beberapa teman dekat yang sering diajak belajar kelompok atau sekadar kumpul di
sekolah.
Yang
menggembirakan, anak kami sudah mulai aktif di kegiatan ekstra kurikuler
(eskul). Bahkan, dia ikut beberapa eskul pilihannya, hingga terpilih mewakili
sekolah untuk mengikuti Lomba Fisika-ILPO yang diadakan oleh Universitas Surabaya (Ubaya), Jawa Timur. Meski tak sampai ke babak final, namun perjuangan anak
saya hingga ke tahap semi final sudah sangat membanggakan kami. Kami
benar-benar bersyukur dengan perubahan buah hati kami.
Senangnya, anak kami (Paling Kanan) bisa ikut Lomba Fisika -ILPO di Universitas Surabaya, hingga Babak Semi Final, Februari 2018. |
Saya baru
sadar bahwa pelukan seorang ibu tak hanya menjadi obat pelipur lara hati sang
anak, namun juga menjadi sumber energi batin yang tak bisa ia dapatkan dari
manapun. Pelukan seorang ibu kepada anak mampu meredam emosi dan kegalauan
dalam diri anak. Selain merupakan ekspresi kasih sayang, pelukan
seorang ibu kepada buah hatinya pun dapat menciptakan perasaan nyaman, tenang,
dan aman.
Sebuah literatur yang pernah saya baca menyebutkan, riset terbaru yang
dipublikasikan pada Jurnal Emotion, terbitan Inggris, salah satu alasan
berpelukan terasa sangat nyaman adalah karena berpelukan merupakan bentuk dari
membagikan beban di dalam hati dan beban kepada orang lain.
Maksudnya, ketika seorang anak mengalami peristiwa yang menguras emosi,
sebaiknya anak mendekatkan diri secara fisik dengan orang yang memiliki
hubungan yang erat dengan dia, terutama ibu. Manfaatnya, untuk mengurangi beban
emosional yang dipikul oleh anak dan sang ibu akan membantu memikul beban
tersebut.
Terbayang dalam benak saya, andai saja para orang tua (terutama ibu) mau
memberikan pelukan hangat kepada buah hatinya sebelum berangkan sekolah setiap
hari, saya yakin budaya ini akan menjadi energi tambahan luar biasa bagi anak
selama belajar di sekolah.
***
Mengingat begitu
dahsyatnya efek dari pelukan seorang ibu kepada anak, rasanya tak berlebihkan
jika saya mengusulkan ini menjadi semacam “Gerakan Ibu Memeluk Buah Hati
Sebelum Berangkat Sekolah”. Gerakan ini penting agar menjadi budaya yang
mengharmoniskan hubungan antara anak dan orang tua. Saya sangat memimpikan agar
gerakan ini bisa diterapkan di setiap keluarga Indonesia yang memiliki anak
usia sekolah.
Jika
jalinan hati antara anak dan orang tua sudah erat, maka tak terlalu sulit untuk
menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi sang anak, khususnya yang
berkaitan dengan kegiatan sekolah. Sepelik apapun persoalan yang dihadapi di
sekolahnya, akan lebih mudah dicarikan jalan keluar terbaiknya bersama orang
tua.
Jika sudah
demikian, maka tugas guru di sekolah pun akan terkurangi bebannya. Bisa jadi,
guru akan lebih nyaman dan fokus dalam proses kegiatan belajar mengajar di
kelas. Bisa dipastikan, guru akan merasa senang dan bangga tak memiliki siswa
bermasalah di sekolahnya.
Saya
sangat yakin, bahwa “Gerakan Ibu Memeluk Buah Hati Sebelum Berangkat Sekolah”
akan mampu membentuk karakter positif bagi anak yang dibangun mulai dari
lingkungan keluarga. Pembentukan karakter pada anak melalui gerakan ini bisa
disosialisasikan di kalangan orang tua siswa melalui berbagai kegiatan komite sekolah
maupun paguyuban orang tua murid. Jika perlu, ini menjadi semacam budaya
positif yang dibiasakan kepada seluruh siswanya. Sebuah kegiatan yang tak
berbiaya, mudah dilakukan, namun menghasilkan efek positif yang luar biasa.
Sekadar mengingatkan, bahwa pembentukan karakter pada anak juga merupakan
bagian dari penyelenggaraan pendidikan. Dan, penyelenggaraan pendidikan tidak hanya
dilakukan di sekolah, tapi keluarga juga memiliki peran sangat penting untuk
menyelenggarakan pendidikan di rumah.
Untuk itu, perlu ada kerja sama dan keselarasan program pendidikan yang
dilakukan di satuan pendidikan, keluarga dan masyarakat sebagai tri sentra
pendidikan dalam membangun ekosistem pendidikan untuk menumbuhkan karakter dan
budaya berprestasi peserta didik.
Saya melihat, berdasar informasi di media online, sejak lama Direktorat
Pembinaan Pendidikan Keluarga, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, cukup
gencar mengkampanyekan pentingnya keterlibatan keluarga di satuan pendidikan melalui
berbagai kegiatan. Seperti yang sudah dilakukan oleh Subdit Pendidikan Orang
Tua, menyelenggarakan Sarasehan Pendidikan Keluarga di Kabupaten Klaten, Jawa
Tengah pada tahun lalu. (sumber: https://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id/laman/index.php?r=tpost/xview&id=4390).
Kesadaran sebagian satuan pendidikan untuk membangun kebersamaan dalam
penyelenggaraan pendidikan, melalui paguyuban orang tua murid dan sekolah juga
mulai tumbuh. Salah satunya adalah di SMAN 4 Pekanbaru, Riau. Di sekolah ini
telah lama terbentuk paguyuban dan memiliki peran yang tak kecil dalam
keterlibatan di satuan pendidikan. (sumber: https://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id/laman/index.php?r=tpost/xview&id=4644).
Di SMAN 4 Pekanbaru ini, para orang tua siswa
menyadari bahwa untuk mewujudkan kemitraan antara pihak sekolah dan orang tua,
kerjasama antara komite sekolah dan paguyuban orang tua di tiap-tiap kelas
mutlak diperlukan. Memang, tak sedikit satuan pendidikan yang menilai, bahwa
kedua lembaga tersebut tumpang tindih dari sisi fungsinya. Namun, sesungguhnya kedua
lembaga di satuan pendidikan itu berbeda. Bila komite sekolah merupakan lembaga
formal yang diatur undang-undang, maka paguyuban orang tua bersifat nonformal
sebagai wadah terciptanya kemitraan orang tua dan sekolah.
Komite sekolah dan paguyuban orangtua murid perlu
berjalan seiring, sehingga kedua lembaga ini menjadi media baru dalam menjalin
komunikasi aktif dengan satuan pendidikan. Di dua lembaga ini orang tua dan
para guru bisa saling bertukar pendapat dan pengalaman untuk mendukung keberhasilan
anak dalam belajar.
Kalau saja, kegiatan semacam ini juga diikuti oleh
satuan pendidikan lain di seluruh Indonesia, maka, saya yakin, tidak akan sulit
untuk mengkampanyekan “Gerakan Memeluk Ibu Sebelum berangkat Sekolah” untuk
membangun anak yang berkarakter. Semoga.
(*)
#sahabatkeluarga
Referensi:
1. Berita
berjudul: Orang Tua Terus Didorong Aktif dalam Kegiatan Sekolah, 10 Oct 2017, (Tautan:
https://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id/laman/index.php?r=tpost/xview&id=4390)
2. Berita
berjudul: Komite Sekolah SMAN 4 Pekanbaru dan Paguyuban Orang Tua Saling
Mendukung (3), 01 Mar 2018,
(Tautan: https://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id/laman/index.php?r=tpost/xview&id=4644).
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon